Translate

Minggu, 27 Maret 2016

"UANG SUAMI tidak sepenuhnya jadi UANG ISTRI"




   Selama ini ada semboyan, terutama diyakini oleh para istri. “Uang istri, adalah uang istri. Tapi kalau uang suami, itu uang istri juga”. Apakah ini benar?

   Dalam ekonomi rumah tangga Islam, memang benar bahwa uang istri adalah uang istri saja. Islam sangat mengakui dan menghormati kepemilikan harta oleh
seorang istri, terlepas dari suaminya. Harta yang jelas dimiliki oleh seorang istri, tidak bisa dikuasai oleh suaminya.

   Sekali lagi, ini berlaku pada harta yang jelas milik istri sendiri. Misalnya saja harta bawaan istri sebelum ia menikah dengan suaminya. Atau harta warisan yang diterima oleh seorang istri dari orangtuanya sendiri, ini juga hak mutlak milik dirinya sendiri. Begitu juga dengan mahar atau mas kawin yang diterima dari suaminya, maka itu miliknya sendiri. Dan juga hadiah yang telah diterima dari suaminya, itu juga menjadi miliknya, tidak bisa diminta kembali.

   Para suami harus menghormati hak kepemilikan istrinya, tidak dikuasi menjadi asset bersama seperti yang berlaku dalam hukum perdata. Untuk para suami, prinsipnya sederhana saja. “Tidak boleh minta dari istri, tapi kalau diberi, jangan pernah ditolak”.

   Tentu saja ini hanya berlaku untuk harta yang memang murni milik istri sendiri. Sedangkan harta yang diusahakan bersama, juga menjadi miliki bersama. Misalnya saja jika suami dan istri sama-
sama membesarkan sebuah usaha di rumahnya, tentu ini adalah milik bersama karena diusahakan bersama pula.

Nah, sekarang bagaimana dengan harta suami?

Apakah otomatis menjadi milik istri juga?
   Saya tidak menemukan dasarnya kenapa harta suami secara otomatis juga menjadi milik istri. Yang benar adalah, bahwa suami wajib untuk memberikan nafkah kepada istrinya dan anak-anaknya. Artinya, suami harus mencukupi semua kebutuhan istrinya. dan juga anak-anaknya, sesuai dengan kondisi dan kemampuannya.

   Tidak semua harta ataupun penghasilan suami menjadi hak bersama dengan istrinya. Tapi dari penghasilan dan harta suami tersebut, ia berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada mereka. Seberapa besar? Dengan cara yang makruf (baik), tentu saja sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing yang berbeda kebutuhannya.

   Bagaimana jika suami tidak memberikan nafkah yang layak sedangkan ia mampu? Sejarah mencatat bagaimana seorang istri curhat pada Nabi
Muhammad SAW: Bahwasanya Hindun bintu ‘Itbah berkata,”Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir, dia tidak memberi nafkah
yang cukup buat aku dan anak- anakku, kecuali aku harus mengambilnya sedangkan dia tidak tahu,” maka (Rasulullah) mengatakan,”ambillah apa yang cukup buatmu dan anak- anakmu dengan cara yang patut.” (HR.Bukhori 4945)

   Rasulullah SAW sudah memberikan jawabannya, bahwa yang boleh diambil oleh seorang istri adalah apa yang menjadi hak ia sendiri dan anak-anaknya.
   Dalam konteks sekarang, uang belanja dan semua kebutuhan rumah tangga, biaya pendidikan dan pengasuhan untuk anak-anak. Dan tentu juga untuk kebutuhan pribadi istri sendiri.

   Itu semua adalah batasan hak dan kewajiban suami istri dalam harta dan nafkah. Suami wajib memberi nafkah dan menghormati kepemilikan harta istrinya.
Sebagaimana juga istri menghormati harta milik suaminya dan berhak untuk nafkah kebutuhannya pribadi.

   Namun dalam kehidupan rumah tangga, dimana kita sudah berjanji setia untuk saling mencinta. Hak adalah batas maksimal yang kita minta. Dan kewajiban adalah batas minimal kita memberi. Karena cinta, seorang suami sah-sah saja membagi kepemilikan harta dengan istrinya. Dan karena cinta pula, tidak dilarang jika istri yang berpenghasilan ikut membantu keuangan keluarga.


Sumber: (www.gozali.id/uang-suami-uang-istri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar